How Green Can You Go ?

Dari biomass menjadi hidrogen untuk energi terbaharukan

Posted in Kimia hijau by mAthA inggin bixara on Desember 30, 2010

 

Proyeksi sumber energi dimasa mendatang (The Institute of Energy Economics, Japan-diambil dari material presentasi Dr. Bambang Veriansyah, Supercritical Fluid Lab, KIST, Rep. of Korea.)

Dahulu kita hanya mengenal minyak dan gas bumi serta batu bara sebagai bahan bakar, namun kesadaran terhadap menurunnya cadangan minyak dunia, naiknya pemanasan global dan pencemaran udara akibat pembakaran material tadi mengubah pandangan dunia untuk mulai memikirkan sumber energi alternatif. Maka kini ilmuwan dan praktisi industri mulai menjajagi kemungkinan sumber energi lain yang terbaharukan dan menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca (terutama karbon dioksida, CO2), misalnya sinar matahari, panas bumi, angin, gelombang, biofuel, dan tentu saja gas hidrogen.

Contoh-contoh energi terbaharukan (diadaptasi dari material presentasi Dr. Bambang Veriansyah, Supercritical Fluid Lab, KIST, Rep. of Korea.)

Proses perlakuan terhadap biomass demi mendapatkan hidrogen menjadi salah satu obyek pengembangan yang paling dinamis sekaligus menantang. Biomass adalah material organik yang terbaharukan, sehingga dapat dikatakan cadangannya tidak pernah habis. Beberapa tahun silam teknologi pengolahan biomass yang dikenal sebagai gasifikasi biomas (gasification of biomass), reforming dalam air superkritis (reforming in supercritical water), dan reforming dalam air (aqueous phase reforming) telah diperkenalkan dengan harapan industri dapat segera mengadopsinya. Kenyataannya tidaklah mudah, karena kedua teknologi yang disebutkan pertama membutuhkan kondisi yang cukup ekstrem (temperatur dan tekanan tinggi) serta biaya investasi alat dan operasi yang sangat tinggi. Pilihan ketiga sebenarnya cukup memenuhi syarat untuk segera diterapkan karena bisa dikerjakan pada kondisi lebih lembut namun membutuhkan proses optimasi supaya lebih baik.

Reforming dalam air (aqueous phase reforming)

Reforming dalam air mula-mula diperkenalkan oleh grup penelitian Dumesic. Teknologi ini bisa mendapatkan 35% hidrogen, 40% CO2, dan sisanya berupa gas hidrokarbon dengan memanfaatkan bahan baku alkohol, dan polialkohol termasuk gliserol serta sorbitol dikatalisis platinum atau palladium. Menggunakan teknologi pemisahan gas yang sudah mapan, hidrogen bisa dipisahkan dengan mudah dari campuran. Namun, teknologi ini tampaknya belum memenuhi harapan maksimal kalangan industri karena masih membutuhkan asupan material yang spesifik. Banyak kalangan berangan-angan jika seandainya bahan mentah yang digunakan lebih mudah didapatkan, misalnya gula (glukosa) atau serat selulose yang bisa didapatkan langsung dari tanaman.

Reforming dalam cecair ionik

skema produksi hidrogen dari gula maupun selulose menggunakan sistem cecair ionik-katalis ruthenium

Salah satu hasil penelitian yang sangat menjanjikan adalah proses reforming biomass dalam pelarut cecair ionik. Apakah itu cecair ionik? Cecair ionik atau istilah Inggrisnya ionic liquids adalah garam organik yang mencair atau meleleh pada suhu dibawah 100 derajat Celcius. Tentu saja biomass tersebut harus melalui proses pengolahan dan pemisahan terlebih dahulu, jadi jangan membayangkan biomass yang digunakan sekedar berupa limbah tanam-tanaman kemudian langsung dimasukkan dalam bejana reaksi. Biomass yang dimaksud bisa berupa serat selulose yang telah dibersihkan atau gula dari hasil perkebunan. Teknologi ini melibatkan katalis logam transisi berupa ruthenium kompleks, [(p-cymene)RuCl2]2 serta kondisi reaksi yang lembut.

Penelitian awal menggunakan bahan baku gula dan cecair ionik phosphonium metilphosphinat sebagai pelarutnya menunjukkan bahwa sistem tersebut memberikan produk akhir gas hidrogen (mencapai 31%) dan CO2 tanpa disertai pembentukan gas hidrokarbon. Dengan demikian produktifitas hidrogen bisa ditingkatkan dan proses pemisahan menjadi lebih sederhana. Sistem yang sama juga digunakan untuk menghasilkan hidrogen dari material serat selulose. Selulose merupakan biopolimer yang terbentuk oleh alam dan tidak larut dalam medium air atau pelarut organik biasa sehingga pemanfaatannya dalam produksi hidrogen menurut metode reforming dalam air dipastikan sulit dilakukan. Kunci keberhasilan dari sistem cecair-ionik dan katalis ruthenium adalah kemampuan cecair tersebut dalam melarutkan gula atau selulose serta katalis dan sekaligus mempertahankan kestabilan katalis. Mekanisme yang disarankan dari pengamatan spektroskopi adalah dekomposisi glukosa menjadi asam format untuk kemudian katalis ruthenium mendekomposisi asam format menjadi H2 dan CO2.

Walaupun produktifitas menunjukkan penurunan setelah melakukan beberapa kali reaksi menggunakan medium dan katalis yang sama, hasil percobaan ini bisa menjadi batu loncatan demi mencapai sistem yang lebih mumpuni, terutama menemukan cecair ionik yang berdaya tahan tinggi dan mampu melarutkan selulose lebih banyak.

Salam hijau!

Disarikan dari: N. Taccardia, D. Assenbaum,M. E. M. Berger, A. Bösmann, F. Enzenberger, R. Wölfel, S. Neuendorf, Volker Goeke, N. Schödel, H. -J. Maass, H. Kistenmacher, and P. Wasserscheid, Catalytic production of hydrogen from glucose and other carbohydrates under exceptionally mild reaction conditions, Green Chemistry 12 (2010) 1150-1156.

 

2 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. erwin said, on Mei 3, 2011 at 4:35 pm

    Sungguh artikel yang bermanfaat, semoga semakin menggiatkan kita untuk terus meneliti energy yg terbarukan ini hingga mencapai kesempurnaan. Salam Hangat.

    • mAthA inggin bixara said, on November 25, 2011 at 2:27 pm

      Salam hangat juga mas erwin! semoga anda juga mau terlibat dalam pengembangan energi terbarukan.


Tinggalkan Balasan ke mAthA inggin bixara Batalkan balasan